Adat Jawa merupakan adat yang kental,adat jawa telah melekat sangat lama.Kita harus melestarikan adat jawa agar tidak punah,jika punah maka akan diambil negara lain. macam macam adat jawa:
1. Syukuran
saat seorang wanita mulai hamil .
Pada
saat seorang wanita terlambat haidnya, diadakan upacara syukuran pada hari weton
si wanita. Weton adalah saat lahir seseorang, berdasar Kalender Jawa. Tembung
Weton berasal dari tembung metu atau keluar, maksudnya hari
lahir. Jika dalam Kalender Masehi dikenal hari-hari Senin sampai Minggu,
maka dalam Kalender Jawa, dikenal hari-hari pasaran, yaitu Kliwon, Legi,
Paing, Pon , dan Wage . Orang yang lahir hari Jumat Kliwon, berarti weton
nya adalah Jumat Kliwon.
2.
Syukuran pada bulan ke dua, ke empat dan ke tujuh kehamilan
Syukuran
bulan ke empat disebut ngupati , atau ngapati (dari kata
papat, atau empat) , dan syukuran bulan ke tujuh disebut mitoni (dari
kata pitu atau tujuh), tingkeban. Selain bersyukur pada Tuhan,
upacara syukuran itu juga dimaksudkan untuk mohon doa dan berbagi rasa
bahagia pada saudara, sahabat, dan tetangga. Bentuk rasa syukur, tergantung
niat si empunya hajat. Bisa cukup sederhana, dengan sekedar membagikan bubur abang-putih
dan jajan pasar pada kerabat dan tetangga; bisa juga dengan membagikan sega
gudangan , bahkan mengundang kerabat dan tetangga, dan menjamunya dengan
hidangan yang pantas. Semua upacara,selalu diawali dan diakhiri dengan doa.
Dalam
hadist dinyatakan, bahwa ruh manusia ditiupkan pada hari ke 120, atau pada umur
kehamilan empat bulan. Di beberapa tempat, tumbuh dan berkembang tradisi baru,
yaitu pengajian dan pembacaan doa pada umur kehamilan empat bulan.
3. Syukuran tingkeban
Upacara ini, biasanya dilakukan hanya pada kehamilan yang pertama.
Urutan upacaranya adalah seperti berikut.
3.1. Siraman
calon ibu.
Mula-mula
disiapkan air yang di dalamnya sudah diisi dengan kembang setaman .
Calon ibu memakai kain batik yang dililitkan (kemben ) pada
tubuhnya..Dalam posisi duduk, calon ibu mula-mula disirami oleh suaminya, lalu
oleh orang tua dan sesepuh lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci
semua kotoran, dan hal-hal negatif lainnya.
3.2.Tlisipan
endog ayam .
Setelah
siraman, calon ayah memasukkan endog ayam (telur ayam) (kampung) di
bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah,
sampai ke luar. Ini melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan
selamat.
3.3. Santun
busono
Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon
ibu secara bergantian memakai (melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik,
yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa
dalam membesarkan dan mendidik anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak
kehidupan. Corak batik yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai
terjelek, yaitu 1) sidoluhur, 2) sidomukti, 3) truntum, 4) wahyu tumurun, 5)
udan riris, 6) sido asih, 7) lasem.
Setiap memakai
corak kain, si calon ibu berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada
saat memakai sidomukti sampai sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi
tidak cocok”, atau “Mahal tapi tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak
yang paling sederhana, yaitu lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”,
“Biasa-biasa, tapi karena yang memakai cantik, ya serasi”. Ini melambangkan,
doa agar si bayi nantinya menjadi orang yang sederhana.
Angka 7
melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur,
dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya.
Ada pengertian lain dari angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7,
dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan (pertolongan).
3.4. Nyigar
klapa gading
Selanjutnya,
ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading,
yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna
dan Sembodro. Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika
laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik
Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ni merupakan lambang kasih sayang
sejati. Oleh si calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon
bapak), yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan bendo
. Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada
kekuasaan Allah.
3.5. Dodol
dawet lan rujak
Pada awal
upacara, para tamu diberi duwit kreweng . Kreweng adalah
genting yang dipecah. Sekarang, ada duwit kreweng yang dibuat
khusus yang ornamennya, yang dijual di pasar-pasar tradisional.
Beberapa perias penganten juga menyediakan uang kreweng ini. Kemudian, para
tamu membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si
calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah
menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng ,
melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon
ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan..
3.6. Kembul
bujana
Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah
makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan
acara akhir dari tingkeban .
4. Syukuran
saat bayi lahir
Dalam tradisi
Islam, pada setiap bayi yang lahir, ayahnya membisikkan adzan di telinga kanan
bayi, dan iqomat di telinga kirinya. Jadi, suara yang pertama kali didengar
adalah suara illahiah.
Setelah bayi
lahir, ari-ari (plasenta) dicuci bersih, dan diamati dengan
seksama untuk memeriksa, mungkin ada bagian ari-ari yang tertinggal di
rahim (robek). Setelah itu, ari-ari dibungkus dengan kain putih, lalu
dimasukkan ke dalam kendil (periuk). Kendil diisi juga uba rampe
, yaitu: kembang setaman , minyak wangi, kunyit, garam, jarum jahit,
benang, kemiri, ikan asin, sirih yang digulung, dan alat tulis (pensil, buku
tulis). Lalu kendil ditutup, kemudian ditanam, biasanya di depan
rumah. Ada juga yang menggantung kendil itu. Setiap malam, selama 40 hari, di
atas kendil itu dinyalakan lampu minyak tanah. Sebelum dan sesudah kendil itu
ditanam, ayah si bayi memanjatkan doa.
5. Syukuran sepasaran,
selapanan, dan puputan
Syukuran sepasaran dan selapanan dilaksanakan saat bayi
berumur 5 dan 35 hari, syukuran puputan dilaksanakan pada hari setelah
tali pusar bayi lepas (putus).
Pada saat bayi puput
, orang tuanya memberi nama pada anaknya. Mestinya dipilih nama yang indah dan
mengandung doa. Biasanya, tali pusar yang putus itu dikeringkan, dibungkus kain
putih, lalu disimpan.
Di beberapa
tempat, orang tua bayi mengirimkan berkatan , yaitu makanan (nasi dan
lauk pauk) di dalam besek (sekarang doos) pada kerabat dan tetangga,
disertai secarik kertas bertuliskan nama anaknya dan permohonan doa
Dalam
Islam disyariatkan pada hari ke tujuh dilakukan potong rambut bayi, sekaligus
pemberian nama. Ada juga orang tua yang meng-aqiqahkan anaknya pada saat masih
bayi.
6. Syukuran
tedak siten
Tedak berarti turun,
dan siten berasal dari kata siti , yang berarti tanah. Dalam
tradisi Jawa, saat seseorang menginjakkan kakinya pada bumi, Sang Ibu Pertiwi,
untuk pertama kalinya, amatlah penting.
Upacara ini
dilakukan pada saat bayi berumur pitung lapan , atau 7 lapan, atau 7 X
35 hari, dijatuhkan pada hari weton si bayi; jika bayi lahir pada Senin
Kliwon , maka tedak sitennya dilaksanakan pada Senin Kliwon juga.
Uba rampe yang disiapkan adalah:
1. Jadah (ketan
sudah dimasak, lalu ditumbuk), 7 warna, yaitu: hitam, merah, putih, kuning,
biru, hijau, dan ungu. Setiap warna, ditempatkan dalam piring kecil, lalu
ditempatkan membentuk garis lurus menuju kurungan ayam.
2. Tangga
yang dibuat dari tebu wulung (kulitnya berwarna wulung , ungu),
dengan 9 anak tangga; tangga ini disandarkan pada kurungan ayam. Dipilih angka
9, karena merupakan angka maksimum. Tebu wulung merupakan singkatan ‘ante ping kalbu wu juding lelung an’.
3.
Kurungan ayam, yang dihias secukupnya, di dalamnya berisi barang kebutuhan
sehari-hari, misalnya alat tulis, uang, mainan anak, dan sebagainya
4. Kembang
setaman , dimasukkan ke dalam bokor yang berisi air.
5. Beras
kuning yang dicampur uang receh (koin)
6. Tumpeng,
bubur abang putih , dan jajan pasar
Urutan upacara
adalah seperti berikut.
- Dengan dituntun ibunya (Jawa dititah atau ditetah ), si bayi menginjakkan kaki pada jadah aneka warna, menuju tangga tebu wulung , langsung menaiki tangga itu. Upacara menginjak jadah aneka warna ini melambangkan, bahwa si ibu mendidik anaknya mengarungi samudera kehidupan yang beraneka warna; si ibu juga membimbing anaknya menaiki tangga tebu, agar anaknya mampu meningkatkan harkat dan martabatnya..
- Kurungan ayam dibuka, si bayi dimasukkan ke dalamnya, lalu kurungan ditutup lagi. Biarkan si bayi mengambil barang-barang atau permainan yang ada di dalamnya. Benda apa yang diambil si bayi, dianggap apa yang menjadi cita-citanya. Jika si bayi mengambil uang, dianggap ia akan bekerja di bank, jika mengambil alat tulis, dianggap ia akan menjadi cerdik pandai.
- Setelah itu,bayi dimandikan atau cuci muka dengan air kembang setaman .
- Beras kuning ditaburkan, di sekitar kurungan. Para tamu boleh merebut atau mengambil uang recehnya. Ini melambangkan, semoga setelah dewasa, si bayi mempunyai sifat dermawan, suka memberi.
- Terakhir adalah kembul bujono.
Pada
syukuran-syukuran itu, lazimnya disajikan nasi tumpeng, bubur merah putih, dan
jajan pasar. Setelah doa, tumpeng dimakan bersama. Ada juga yang mengirimkan
nasi gudangan ke tetangga.
7. Khitanan
Khitanan dapat dilakukan oleh juru khitan, atau dukun sunat sekarang
dilakukan oleh petugas medis (dokter), dan paramedis (mantri). Di kota-kota,
dijumpai ‘khitan center’. Khitanan dapat dilakukan di rumah, di rumah sakit,
klinik, atau khitan center. Bahkan, ada juga khitanan masal.
Ada berbagai variasi upacara khitan; ada yang sekedar ke klinik, lalu
pulang, selesai. Ada juga yang lebih rumit; anaknya memakai pakaian kejawen
(dari blangkon sampai nyampingan), ada acara sungkeman, dan sebagainya.
Kiranya, urutan upacara dan ramainya upacara khitanan, tergantung pada orang
tua si anak.
8. Pernikahan
a.Melamar
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan. Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup. Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan. Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup. Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.
Setelah
dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan
putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj
tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan
barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya
tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya
disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.
c.Pingitan
Saat-saat
menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan' atau
'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya
cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan
tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin
putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar
pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat
pangling orang yang menyaksikannya.
d.Pasang Tarup
Upacara
pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun kelapa)
yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai pula dengan
pengadaan sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama
upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung
makna religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya
hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut
'tetuwuhan' yang memiliki nilai-nilai simbolik.
e.Siraman
Makna
upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri lahir
batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing. Juga merupakan
media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan,
kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan bokor. Orangtua
calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke wadah
kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung untuk
diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon mempelai
putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin
serta para pini sepuh. Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon
pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon
mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai
sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah
pecah pamornya").
f. Paes/ Ngerik
Setelah
siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri
secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi'
(pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan
temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini
sepuh. Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan
do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan
semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat
rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.
g. Dodol Dawet
Prosesi
ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan dilangsungkan,
diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam
upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet,
didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan :
"Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah.
Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang'
(menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan
dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat
'ayam lancur' dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol
melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara
berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan'
(daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar
kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih
kebahagiaan.
h. Midodareni
Ini
adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum
melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman
calon mempelai putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk
meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan
yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh
wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap
melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada
malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah
menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali
masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari.
Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau
'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian
upacara berjalan lancar dan selamat.
i. Pernikahan
Pernikahan,
merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon
mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di
kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan
bisa dilangsungkan di gereja.
Ketika pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai
keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat,
yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
j. Panggih (Temu)
Sudah
menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya
dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan
kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu
suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan
tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala
peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu
kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta
penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut
ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa setiap orang yang
melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung
upacara perkawinan. 'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri
dan mempelai putra, yang berlangsung sebagai berikut :
1.Balangan gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju
'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai
saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan
mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri
mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami
terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.
2.Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu
mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang
kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri
kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa
memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik
dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu
diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.
3.Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra
sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan
secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.
4.Sinduran/ Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna
merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak
dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan
iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari
belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa
kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang
tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.
5.Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri.
Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan.
Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot
endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo,
podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari
upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar
dan beratnya.
6.Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini
melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni
berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan
kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang
dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah
disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur
dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.
9.Mati/Wafat
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum
mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu
dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga
tertua sampai dengan termuda. Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai
geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun
kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu
sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong
kambing untuk disate dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan
nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa
itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah
dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke
alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur
rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah
menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari
kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.
10. Dalam Proses Pertanian
Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using. Di kalangan mereka, khususnya
yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ada sebuah
upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang
disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk
meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik
yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.
Upacara adat kebo-keboan mempunyai kedudukan yang penting bagi kehidupan masyarakat Using Desa Alasmalang. Upacara adat kebo-keboan di Desa Alasmalang sudah mengalami komodifikasi. Upacara adat kebo-keboan dalam pelaksanaannya terdapat tambahan kesenian tradisional Banyuwangi yang lainnya. Kesenian tersebut antara lain; barong ider bumi, kuntulan, damarulan/jinggoan, tari jejer gandrung, angklung dan reog. Unsur-unsur upacara dalam upacara adat kebo-keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan upacara adat kebo-keboan terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap pra acara atau persiapan, acara inti, dan tahap akhir atau penutup.
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro
(penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual
ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua
tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan,
Kecamatan Rogojampi. Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal
terjadinya musibah pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama
juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit
misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti
melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini
mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan
mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran. Keajaiban muncul ketika warga menggelar
ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang
tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut
terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Upacara
kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh
pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran).
Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa
pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat
mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan
pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah
bulan yang keramat. Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga
masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk
membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang
pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri
atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain
sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti
para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan
bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan,
nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun
Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam. Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun,
seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan
berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain
barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun
Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang
berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta
(petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke
sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para
pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik
warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai
memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang
membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang,
sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar