Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 21 November 2015

Sejarah seni tari


Seni tari adalah seni yang menggunakan gerakan tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan mengungkapkan perasaan, maksud danpikiran.seni tari merupakan perpaduan dari beberapa unsur yaitu raga, irama, dan rasa.Sejarah seni tari di Indonesia adalah:

A. ZAMAN PRASEJARAH
Zaman prasejarah adalah zaman sebelum lahirnya kerajaan di Indonesia. Entuk dan wujud tariannya cenderung menirukan gerak alam lingkungannya yang bersifat imiatatif. Sebagai contoh menirukan binatang yang akan diburu, pemujaan dan penyembuhan penyakit
B. ZAMAN INDONESIA HINDU
Pada zaman Indonesia hindu, seni tari mulai digarap dan banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dar India. Beberapa jenis tari pada zaman Indonesia hindu seperi tari-tarian adat dan keagamaan berhasil disempurnakan menjadi tarian klasik yang beratistik tinggi. Sebagai contoh wayang wong, wayang topeng.
C. ZAMAN INDONESIA ISLAM
Pada zaman Indonesia islam, seni mengalami keyaan penggarapannya kebanyakan di keraton yaitu kasutanan dan kesultanan. Kedua kerajaan tersebut mengembangkan identitasnya yang akhirnya menjadi 2 jenis tari yaitu kasunanan dan kasultanan.
D. ZAMN PENJAJAHAN
Pada zaman penjajahan, tari-tarian mengalami kesuraman sebab berada dalam suasana peperangan dan penjajahan.
E. ZAMAN SETELAH MERDEKA SAMPAI SEKARANG
Setelah merdeka, peran tari mulai difungskikan untuk keagamaan ataupun sebagai hiburan dan muncul banyak kreasi-kreasi baru ataupun inovasi terhadap seni tari klasik.
Di dalam seni tari yang ada di Jawa Tengah terdapat 3 Jeni tari yaitu :
1. Tari Klasik
2. Tari Tradisional
3. Tari Kreasi Baru
1. Tarian Klasik Jawa Tengah
a) Tari Bedhaya
Tarian ini bertemakan percintaan.
Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).
Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih beta diri.
Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak Tari : sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
Jenis Instrumen : Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong
(gemelan laras pelog, tanpa keprak).
b) Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang dan gending.
Instrumen : gender, kendang, kenong, kempul, dan gong
Perkembangan : Awal mula istilah Gambying tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek.
Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.
Penari ini juga dsiebutkan dalam buku “Cariyos Lelampahanipun” karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemnahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Gerak tari
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan
dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi
dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis.
Sebagai contoh , pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil),
nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan
diletakkan di depan kaki kiri, kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak
kaki tetap merapat ke lanati). Gerak kaki yang spsifik pada tari Gambyong adalah gerak embat
atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas.
Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangklaian gerak,
yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya.
Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singket ukel karana, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan
(sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).
c) Tari Bondan
Tari Bondan adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. seorang anak wanita dengan menggendong boneka mainan dan payung terbuka, menari dengan hati-hati di atas kendi yang diinjak dan tidak boleh pecah. Tarian ini melambangkan seorang ibu yang menjaga anak-anaknya dengan hati-hati.
Tari ini dibagi menjadi 3, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Mardisiwi, dan Bondan Pegunungan/ Tani. Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi melambangkan seorang ibu yang menjaga anaknya yang baru lahir dengan hati-hati dan dengan rasa kasih sayang . Tapi Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.
Di tahun 1960an, Tari Bondan adalah tari unggulan atau tari wajib bagi perempuan-perempuan cantik untuk menunjukkan siapa jati dirinya. Hampir semua penari Tari Bondan adalah kembang kampung. Tari Bondan ini juga paling sulit ditarikan karena sambil menggendong boneka, si penari harus siap-siap naik di atas kendi yang berputar sambil memutar-mutarkan payung kertasnya. Penari Tari Bondan biasanya menampilkan Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi memakai kain Wiron, memakai Jamang, baju kutang, memakai sanggul, menggendong boneka, memanggul payung, dan membawa kendhi. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing.
Ciri tarian :yaitu mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan membawa alat pertanian. Bentuk tariannya pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo atau Mardisiwi.
d) Tari Serimpi :
Tarian Serimpi merupakan tarian bernuansa mistik yang berasal dari Yogyakarta. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa.
Tarian ini dimainkan oleh empat orang penari wanita. Gerakan tangan yang lambat dan gemulai, merupakan ciri khas dari tarian Serimpi. Tarian srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Tarian ini melambangkan bekal untuk kematian (dari arti Sangopati) diperuntukan kepada Belanda.
Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru :
~Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
~Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
e) Tari Beksan Wireng
Beksan Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan ‘Aeng’ yaitu prajurit yang unggul, yang ‘aeng’, yang ‘linuwih’. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang.
Ciri-ciri tarian ini :
— Ditarikan oleh dua orang putra/i
— Bentuk tariannya sama
— Tidak mengambil suatu cerita
— Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
— Bentuk pakaiannya sama
— Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
— Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
— Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
2. Tari Tradisional Jawa Tengah
a) Kuda Lumping :
Tema : berisi unsur hiburan, religi, unsur ritual.
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Gerak tari : Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Jenis Instrument : Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret.
b) Jathilan :
Jatilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa.
Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada salah seorang penarinya.
Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang.
Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng.
Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.
Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar.
Anggota penari : Terdapat sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang).
Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping.
Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam.
Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat sesudah perang-perangan.
Ketika menari para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis.
Ada juga group yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena group ini memakai irah-irahan wayang orang.
Pada kostum yang realistis, tutup kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam.
Selama itu ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya.
Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) pada para pemainnya.
Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.
Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui.
Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang hari.
Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak.
Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari dia hanya akan main 2 babak. Pada umumnya permainan ini berlangsung dari jam 09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan berlangsung pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam 20.00 dan berakhir pada jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak.
Tempat pertunjukan berbentuk arena dengan lantai berupa lingkaran dan lurus.
Instrumen : kendang, bendhe, gong, gender, saron, kepyak
c) Kethek Ogleng :
Kethek Ogleng merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang masih berkembang dengan bentuk yang beragam di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. kisahnya menceritakan seekor kera jelmaan raden gunung sari dalam cerita panji dalam upaya mencari dewi sekartaji yang menghilang dari istana.untuk mengelabuhi penduduk agar bebas keluar masuk desa dan hutan,maka raden gunung sari menjelma jadi seekor kera putih yang lincah dan lucu.
Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan gerak-gerik sekelompok kera putih.dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan dan atraktif.
Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa,alat perkusi tradisional dan penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.
Sekilas Cerita asal usul Kethek Ogleng :
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi Kecamatan Nawangan bertahun-tahun lamanya. Biasanya tarian ini dipentaskan pada waktu hajatan masyarakat setempat. Tarian Kethek Ogleng ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri.
Raja Jenggala mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putra bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Di perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.
Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe belum mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang selama ini dia cari.
Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
d) Sintren :
Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Pekalongan.
Sejarah : Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Bentuk pertunjukan : Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Instrumen : gamelan khas laras slendro
e) Tari Jlantur :
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur semangat kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
3. Tari Kreasi Baru Jawa Tengah
a) Tari Prawiroguno :
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
b) Tari Ronggeng :
Asal : Jawa , Fungsi : Sebagai hiburan , Tema : Erotis , Pencipta : Endang Caturwati
Tarian ronggeng memang berbeda dengan tarian lainnya. Gerak tarian ronggeng lebih ekspresif bahkan mengarah ke eksotis.
Goyang, geol, gitek adalah ciri khas tarian ronggeng. Dengan ciri khas inilah seni ronggeng menjadi identik sebagai seni yang mampu membuat kaum lelaki bangkit libidonya, sehingga akhirnya citra seni ronggeng menjadi sangat jelek.
Tari ronggeng sebenarnya merupakan bagian dari upacara untuk meminta kesuburan tanah. Upacara ini dilakukan supaya hasil pertanian warga melimpah ruah. Karena terkait dengan kesuburan inilah, gerakan dalam tarian dengan penari laki-laki yang disebut bajidor ini, mirip gerakan orang yang sedang bercinta.
Pergeseran mulai terjadi di zaman kolonialis. Sejak era kolonial Portugis hingga Belanda dan Jepang, ronggeng dijadikan sebagai hiburan di daerah perkebunan. Tak hanya bagi pekerja perkebunan, Ronggeng merupakan hiburan bagi kaum penjajah saat itu. Walhasil, sejak saat itulah ronggeng tak lagi sekadar sebagai ritual adat. Sebagai hiburan, seni, ronggeng akhirnya lebih banyak bermuatan unsur erotis, mulai dari cara berpakaian penari, gaya tarinya, bahkan hingga perilaku di atas panggung yang lebih memancing birahi kaum adam.
c) Tari Kumbang :
Tari ini menggambarkan sepasang kumbang (jantan dan betina) sedang mengisap sari bunga di taman, berterbangan ke sana ke mari sambil berkejar-kejaran. Kumbang jantan dan betina memadu kasih dengan suasana romantis di taman bunga. Penonton yang menyaksikan akan diajak berimajinasi dalam suasana romantis, bahwa antara laki dan perempuan.
d) Tari Wira Pertiwi :
Tarian ini merupakan kreasi baru ciptaan Bagong Kussudiardjo yang menggambarkan sosok kepahlawanan seorang prajurit putri Jawa. Ketegasan, ketangkasan dan ketangguhan seorang prajurit tergambar dalam gerak yang dinamis.
e) Tari Beksan Gatotkaca vs Suteja :
v Asal : Yogyakarta.
v Tema : Peperangan.
v Latar belakang : Beksan Gatotkaca vs Suteja merupakan bagian dari sebuah sajian wayang wong gaya Yogyakarta dalam kisah Rebutan Kikis Tunggrana.
v Isi : Dalam tarian ini, dikisahkan perjuangan dari Gatotkaca maupun Suteja dalam mempertahankan batas wilayah kekuasaannya yang berupa hutan, bernama Hutan Tunggrana. Akhirnya jalan penyelesaian yang terpaksa dipilih adalah melakukan perang tanding. Keduanya dikisahkan melakukan perang tanding dengan naik kendaraan berupa burung garuda.
v Fungsi : Sebagai hiburan.
v Keunikan
Ø Gerak : Gerak-gerak penari membentuk sudut (tarian putra gagah). Perang yang terjadi berlangsung sengit sehingga lebih menarik perhatian orang yang melihatnya.
Ø Kostum : Pakainya tampil sederhana dengan memperlihat-kan kekekaran diri penari.
Ø Iringan : Iringannnya cepat dan tegas sehingga menimbulkan kesan gagah penarinya

Demikian sejarah seni tari,semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About