Indonesia sungguh kaya baik alamnya maupun budayanya. Di Indonesia terdapat ribuan suku bangsa yang mendiami sepanjang wilayah kepulauan negara ini. Setiap suku bangsa memiliki unsur kebudayaan mulai dari bahasa, upacara adat, tari tradisional, senjata tradisional, makanan, rumah adat, dan unsur lain yang berbeda dengan suku lainnya. Bentuk kearifan lokal ini merupakan harta yang sangat berharga bagi Indonesia.Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.berikut rumah adat yang ada di Indonesia:
1. Nanggroe Aceh Darussalam
Rumah tradisonal suku
Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3
bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu
seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë
likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu
(rumah dapur).
2. Sumatera Utara /
Sumut
Rumah Adat Sumatera Utara Pada bidang seni rupa terutama
menonjol hasil arsitektur rumah adapt, hasil seni pahat dan ukir, serta hasil
seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai variasi melalui
bentuk dan ornament. Ada rumah Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, disatu
kelompok dan ada rumah Melayu serta Nias.
Umumnya bentuk
bangunan rumah adapt pada kelompok pertama melambangkan ‘kerbau berdiri tegak’.
Rumah Melayu menggambarkan bentuk ‘belalai gajah minum’, sedangkan rumah Nias
terutama di selatan menggambarkan bentuk ‘perahu’.
3. Sumatera Barat /
Sumbar
Minangkabau disebut
Rumah Gadang. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik
keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun. Tidak jauh dari
komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang
berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut
namun belum menikah.
Rumah Gadang ini
dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan
belakang, umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti berbentuk rumah
panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau, masyarakat
setempat menyebutnya Gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum
berganti dengan atap seng. Rumah Bagonjong ini menurut masyarakat setempat
diilhami dari tambo, yang mengisahkan kedatangan nenek moyang mereka dengan
kapal dari laut. Ciri khas lain rumah adat ini adalah tidak memakai paku besi
tapi menggunakan pasak dari kayu, namun cukup kuat sebagai pengikat.
Sementara etnis
Mentawai juga memiliki rumah adat yang berbentuk rumah panggung besar dengan
tinggi lantai dari tanah mencapai satu meter yang disebut dengan uma. Uma ini
dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum
konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu
serta sistem sambungan silang bertakik.
Rumah Gadang: Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah
nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak
di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan
nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga
yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung.
Rumah dengan model
ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak
semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya
pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini
boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah
adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau
Minangkabau.
Rumah adat ini
memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang
menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan
sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan
atap seng.
Rumah Gadang ini
dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan
belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran
ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan
genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah
tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke
atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah
Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat
dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah
Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur
dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.
Uma:
Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat
dan banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Uma ini dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh
keluarga. Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku,
tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.
4. Bengkulu
Rumah Adat Bengkulu
Bentuk dan struktur
rumah penduduk amat ditentukan oleh faktor-faktor adat kebiasaan, ligkungan
alam, dan kondisi masing-masing pemilik tempat tinggal. Rumah yang tumbuh di
kota lebih banyak menunjukkan ciri daerah perkotaan, yaitu ukurannya rendah,
memiliki banyak kamar, jendelanya besar dan memakai kaca, beratap seng atau
genting, mempunyai sumur dan kakus, serta kebanyakan konstruksinya terbuat dari
batu. Rumah-rumah ini terbuka terhadap segala perubahan yang menjurus pada
perubahan bentuk bangunan yang lebih modern. Sedangkan rumah di daerah pedesaan
bersifat statis, dalam arti bentuknya belum pernah mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman.
Bentuk dan struktur
rumah di daerah pedesaan sangat sederhana, meskipun demikian lebih menonjolkan
seni ukir tradisional dibandingkan rumah di daerah perkotaan yang hamper tidak
memiliki ukir-ukiran. Rumah-rumah tersebut merupakan rumah panggung berbentuk
segi empat dan memanjang yang didirikan di atas tiang, dengan bahan pembuatan
diambil dari alam sekitar, seperti kayu, bamboo, rotan, dan ijuk. Jenis rumah
ini beratap daun, dan memiliki ‘garang’ yang merupakan bagian rumah yang
terpisah antara badan rumah dan dapur. Pada bagian beranda terdapat anak
beranda yang berfungsi sebagai tempat menginjakkan kaki.
Tangga rumah terbuat
dari kayu menghadap ke depan dengan anak tangga berjumlah ganjil. Ukiran dan
pahatan pada tangga disebut ‘ujung kangkung’. Bubungan atap rumah tempat
tinggal di daerah pedesaan ada bermacam-macam, yaitu bubungan panjang, bubungan
melintang, bubungan limas, bubungan trapezium, dan bubungan Sembilan. Pada
bagian-bagian tertentu diukir dengan motif ragam hias ‘tebeng layar’.
Atap rumah terbuat
dari daun daunan, ijuk, bamboo, atau kayu durian, sedangkan dindingnya terbuat
dari papan atau kulit kayu. Lantai rumah terdiri dari susunan papan atau bamboo
yang diikat satu sama lain dengan menggunakan akar, rotan, atau ijuk. Untuk
menghubungkan rangka bangunan tidak digunakan paku besi, tetapi menggunakan
paku kayu (pasak).
Struktur rumah
terdiri atas 3 bagian besar, yakni Penigo (beranda) sebagai tempat menerima
tamu biasa; Penduhuak sebagai tempat menyimpan barang-barang dan pakaian;
Dapur, sebagai tempat memasak dan berdiang; Andie-andie, sebagai tempat memberi
pelajaran dan nasihat kepada anak-anak; serta Gang sebagai tempat mencuci kaki
sebelum masuk ke dalam rumah. Di samping itu terdapat bagian-bagian rumah yang
lain, seperti Hal atau Dihal, merupakan ruangan untuk tamu laki-laki yang
dihormati; Hal tengah (ruang tengah), sebagai tempat duduk-duduk para wanita;
Bilik (kamar tidur) yang terdiri dari beberapa kamar, dan merupakan tempat
tidur keluarga pemilik rumah; Hal belakang (ruang belakang), yang berfungsi
sebagai ruang makan dan tempat beristirahat; serta Garang, yang terbuat dari
beberapa kayu atau bamboo sebagaitempat mencuci alat-alat rumah tangga dan
lain-lain.
Rumah adat, dalam
arti rumah yang benar-benar berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan
upacara-upacara adapt, dapat dikatakan tidak ada. Menurut kebiasaan setempat,
upacara-upacara adapt dapat diselenggarakan pada setiap rumah penduduk secara
bergiliran.
5. Riau
Rumah Adat Riau
Rumah orang melayu
Riau dibangun di atas tiang-tiang penyangga untuk menghindari masuknya air
serta menjaga agar hewan-hewan ternak tidak masuk ke dalam rumah. Pada rumah
tinggal (yang disebut rumah bubung melayu, atau rumah belah bubung, atau rumah
rabung), kolong rumah sering dipakai sebagai tempat bertukang di samping
sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian dan menangkap ikan.
Kadang-kadang kolong rumah juga dapat dimanfaatkan untuk tempat bermain
anak-anak.
Selain itu dikenal
jenis-jenis rumah yang namanya didasarkan pada bentuk atapnya. Rumah yang
beratap curam disebut ‘lipat pandan’, yang beratap agak landai disebut ‘lipat
kajang’, sedangkan rumah dengan atap bersusun disebut disebut ‘atap layar atau
ampar labu’. Rumah ini didirikan di atas tiang setinggi 1,50-2,40 meter, dan
terdiri atas ruangan-ruangan yang disebut Selasar (ruang depan), rumah induk,
telo dan penanggah.
Selasar merupakan
ruangan paling depan, biasanya berlantai lebih rendah daripada rumah induk dan
dindingnya separuh terbuka. Selasar yang terpisah dari rumah induk dan letaknya
menjorok jauh ke muka disebut Selasar Luar, yang bersambung dengan rumah induk
tetapi tetapi lantainya lebih rendah dari lantai rumah induk disebut Selasar
Jatuh, sedangkan Selasar yang bersatu dengan rumah induk disebut Selsar Dalam,
yang fungsinya untuk menerima tamu-tamu terhormat. Selain itu terdapat Selasar
yang terletak disamping rumah induk dan menempel pada dinding dari depan ke
belakang, yang disebut Selasar Gajah Menyusur. Ruangan ini digunakan untuk
tempat bermain anak-anak atau tempat menerima tamu-tamu biasa dalam upacara
perkawinan.
Rumah induk dibagi
atas 3 ruangan, yaitu ruang muka, ruang tengah, dan ruang dalam. Ruang muka
berfungsi sebagai serambi tempat duduk-duduk para penghuni rumah ketika
menerima tamu; ruang tengah merupakan tempat menginap kerabat atau tamu-tamu
yang lain, juga merupakan tempat tidur anak laki-laki; sedangkan ruang dalam
merupakan tempat tidur keluarga pemilik rumah, termasuk tempat tidur para
gadis.
Penanggah terdiri
atas 2 ruangan, yaitu Telo dan Penanggah. Telo merupakan ruangan penghubung
antara rumah induk dan penanggah, sedangkan penanggah sendiri merupakan ruangan
tempat memasak. Di dalam Telo disimpan peralatan pertanian dan cadangan air.
Suatu bangunan yang
disebut ‘selaso jatuh kembar’ merupakan tempat tinggal para datuk, pemangku
adat, atau tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Rumah ini terdiri dari beberapa
ruangan, seperti ruangan besar yang dipergunakan sebagai tempat tidur, ruang
bersila, anjungan dan dapur. Tiang rumah, atap, loteng, tangga dan lantainya
semua berukir dengan ragam hias ayam berlaga. Rumah adat ini dilengkapi dengan
balai adat untuk tempat pertemuan dan mengadakan musyawarah adat.
6. Kepulauan Riau /
Kepri
Rumah Adat Kepulauan Riau Kepulauan Riau merupakan salah satu
satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan pulau yang tersebar di
perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu berbukit
dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai
nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari mereka
adalah Islam.
Kondisi alam dan
keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat mempengaruhi pola arsitektur
rumahnya. Pengaruh alam sekitar dan keyakinan dapat dilihat dari bentuk
rumahnya, yaitu berbentuk panggung yang didirikan di atas tiang dengan tinggi
sekitar 1,50 meter sampai 2,40 meter. Penggunaan bahan-bahan untuk membuat
rumah, pemberian ragam hias, dan penggunaan warna-warna untuk memperindah rumah
merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan ekpresi nilai keagamaan dan
nilai budaya.
Salah satu rumah
untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah Bubung. Rumah
ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama
rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah.
Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah
Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda,
karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting
dan Limas.
Nama rumah ini juga
terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya, misalnya: disebut
rumah Lipat Pandan karena atapnya curam; rumah Lipat Kajang karena atapnya agak
mendatar; rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian bawah atapnya ditambah
dengan atap lain; rumah Perabung Panjang karena Perabung atapnya sejajar dengan
jalan raya; dan rumah Perabung Melintang karena Perabungnya tidak sejajar
dengan jalan.
Besar kecilnya rumah
yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang
semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian,
kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama
dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan
serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya
dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular
berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang berganti
utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika
tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.
7. Jambi
8. Sumatera Selatan /
Sumsel
Rumah Adat Sumatera Selatan
Dalam hal Seni
bangunan masyarakat Sumatera Selatan mengenal beberapa bentuk yang difungsikan
sebagai bangunan tempat tinggal, musyawarah, ibadah dan bangunan lainnya. Bagi
masyarakat yang tinggal di daratan kebanyakan menggunakan bangunan berkonsep
panggung, seperti rumah limas dan rumah ulu. Sedangkan mereka yang tinggal di
atas air disebur rumah rakit.
Rumah Limas adalah
bangunan empat persegi panjang di atas panggung yang memiliki atap berbentuk
limas dengan lantai yang berunduk. Masing- masing tinggi tiang rumah memiliki
ketingian 1,5 – 2 meter dari permukaan tanah. Bahan bangunan yang digunakan
dipilih jenis kayu yang bekualitas baik, seperti kayu petangan, kayu tembesu
dan kayu merawan. Biasanya rumah limas menghadap ke barat yang menandakan rumah
sang bangsawan.
Rumah Ulu adalah
rumah berbentuk panggung. Bagaian tiap ruang rumah ini terbagi atas tida
ruangan, yaitu ruang keluarga, ruang tamu dan ruang kamar tidur. Cirri khas
dari rumah ini adalah tidak adanya dinding pembatas antara ruangan, tetapi
hanya dibatasi dengan tirai yang disebut tambal sulam (terbuat dari kain
warna-warni).
Rumah Rakit merupakan
bangunan rumah tradisional yang memiliki fungsi sebagai tempat tinggal yang
memiliki cirri khsa tersendiri. Jenis bangunan ini dibuat diatas rakit, yaitu
susunan bamboo atau balok kayu yang diikat menjadi satu yang mempunyai bentuk
bujur sangkar. Bangunan ini biasanya banyak ditemukan di sepanjang sungai Musi.
9. Lampung
Rumah tradisional
adat Lampung memiliki kekhasan seperti berbentuk panggung, atap terbuat dari
anyaman ilalang, terbuat dari kayu dikarenakan untuk menghindari serangan hewan
dan lebih kokoh bila terjadi gempa bumi, karena masyarakat lampung telah mengenal
gempa dari jaman dahulu dan lampung terletak di pertemuan lempeng Asia dan
Australia, rumah ini biasa disebut dengan rumah SESAT.
Rumah Sesat berfungsi
sebagai tempat pepung adat (musyawarah) para purwatin (penyimbang) antar marga.
Rumah tersebut biasanya dilengkapi dengan jambat agung (tangga) atau lorong
agung untuk masuk ke dalam rumah.
Di Lampung rumah
tersebut juga dikenal dengan sebutan Sesat Balai Agung yang dilengkapi 3 payung
masing-masing berwarna putih (lambang tingkat marga), kuning (tingkat kampung)
dan merah (tingkat suku).
Adapun lambang Garuda
pada rumah Sesat melambangkan marga Lampung. Rumah adat ini dibagi dalam
beberapa bagian antara lain: Ijan Geladak, tangga masuk yang dilengkapi dengan
atap yang disebut Rurung Agung, anjungan, serambi yang digunakan untuk
pertemuan kecil, Pusiban, ruang dalam tempat musyawarah resmi, Ruang Tetabuhan,
tempat menyimpan alat musik tradisional Lampung yang dinamakan Talo Balak
(kulintang), Ruang Gajah Merem, tempat istirahat bagi para penyeimbang.
Hal lain yang khas
pada rumah Sesat ii adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung)
yang berwarna putih, kuning dan merah sebagai simbol tingkat kepenyeimbang bagi
masyarakat tradisional Lampung.
10. Kepulauan Bangka
Belitung /
Secara umum arsitektur
di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti yang ditemukan
di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.
Di daerah ini dikenal
ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu
Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material
seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh
dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Bangunan Melayu Awal
ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di muka,
serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri
atas rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam
dalam tanah.
Berkaitan dengan
tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan
didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan
didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya
dibuat dari pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang
biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya,
sedangkan Bubung Limas karena pengaruh dari Palembang.
Sebagian dari atap
sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur
Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari
bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa.
Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada
tangga batu dengan bentuk lengkung.Di Bangka Belitung pada umumnya terdapat
beberapa macam jenis rumah antara lain adalah rumah panggung, rumah Limas dan
rumah Rakit.
11. DKI Jakarta /
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Rumah Adat DKI Jakarta
Rumah Kebaya
merupakan rumah adat betawi dengan bentuk atap perisai landai yang diteruskan
dengan atap pelana yang lebih landai, terutama pada bagian teras. Bangunannya
ada yang berbentuk rumah paggung dan ada pula yang menapak di atas tanah dengan
lantai yang ditinggikan. Masyarakat betawi lama memiliki adat untuk membuat sumur
di halaman depan rumah dan mengebumikan keluarga yang meninggal di halaman
samping kanan rumah.
Lisplank rumah kebaya
berupa papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama
’gigi balang’. Di bagian tengah sebagai ruang tinggal dibatasi dinding
tertutup, di luarnya merupakan terasi-teras terbuka yang dikelilingi pagar
karawang rendah.
Dinding bagian depan
biasanya dibuat dari panil-panil yang dapat dilepas saat pemilik rumah
menyelenggarakan acara yang membutuhkan ruang lebih luas. Tiang-tiang rumah
lebih tampak jelas di bagian teras, berdiri di atas lantai yang agak naik dari
ketinggian tanah di halaman. Terdapat tangga pendek dari batu-bata atau kayu
untuk mencapai teras rumah.
Ruang-ruang terbagi
dengan hirarki dari sifat publik di bagian depan menuju sifat privat dan
service di bagian belakang. Beranda depan adalah tempat untuk menerima tamu dan
bersantai bagi keluarga yang diberi nama ‘amben’. Lantai teras depan yang
bernama ‘gejogan’ selalu dibersihkan dan siap digunakan untuk menerima dan
menghormati tamu.
Gejogan dihubungkan
tangga yang disakralkan oleh masyarakat betawi dengan nama ’balaksuji’, sebagai
satu-satunya lokasi penting untuk mencapai rumah. Ruang berikutnya adalah kamar
tamu yang dinamakan ‘paseban’. Setelah ruang tamu terdapat ruang keluarga yang
berhubungan dengan dinding-dinding kamar, ruang ini dinamakan ‘pangkeng’.
Selanjutnya ruang-ruang berfungsi sebagai kamar-kamar tidur dan terakhir adalah
dapur yang diberi nama ‘srondoyan’.
12. Jawa Barat /
Jabar
Rumah Adat Jawa Barat Rumah adat yang terdapat di Provinsi
Jawa Barat sangatlah beragam. Hal tersebut terlihat dari atapnya yang beragam
dimana dalam bahasa sunda disebut 'suhunan' atau 'hateup'.
Hal tersebut
disebabkan karena setiap bentuk atap memiliki arti yang berbeda-beda. Tapi pada
intinya, semua penanaman ini dibuat untuk menghormati alam dan sekitarnya.
Uniknya rumah adat
sunda ini sangat tradisional dengan memanfaatkan hasil dari alam sekitar.
Seperti atap yang menggunakan daun kelapa, ijuk, atau daun rumia. Untuk
menguatkan antar tiang digunakan paseuk yang terbuat dari bambu.
Jenis-jenis rumah
adat di Jawa barat antara lain:
- Jolopong: Bentuk atapnya memanjang seperti pelana. Orang zaman dalu sering menyebutnya gagajahan atau regol.
- Tagog Anjing: Biasanya disebut juga atap rumah jogog. Bentuknya seperti seekor anjing yang sedang dalam posisi duduk. Bagian depan dari atap ini seperti mulut anjing, menjulur menutupi bagian teras rumah sehingga meneduhi bagian depan dari bangunan tersebut.
- Badak Heuay: Biasanya bentuk atap kurang lebih mirip dengan atap togog, namun di bagian atas atapnya ada tambahan atap depan dan belakang, sehingga mirip dengan seekor badak yang sedang menguap.
- Perahu Kemureb (Nangkub): Sebagian orang ada yang menyebutnya 'suhuna jubleg nangkub'. Bentuknya seperti perahu yang terbalik, dalam bahasa sunda disebut nangkub.
- Capit Gunting: Atap jenis ini di setiap bagian ujung ditambahkan ornamen kayu mirip gunting yang siap menggunting dengan mencapit. Oleh karena itu pula sebagian orang menyebutnya 'srigunting'.
- Buka Palayu: Susunan atapnya hampir mirip dengan rumah adat Betawi. Rumah jenis ini biasanya dilengkapi dengan teras yang panjang di bagian depannya.
- Buka Pongpok: Bentuknya hampir mirip dengan atap buka palayu. Perbedaanya terletak pada bagian pintunya yang diarahkan langsung ke bagian jalan.
- Julang Ngapak: Bentuknya mirip dengan seekor burung yang sedang terbang ke langit. Jika dilihat dari depan, atap bagian kiri dan kanannya mirip dengan sayang burung yang sedang terlentang. Di bagian paling atas di empat penjuru bersambung antara satu dengan yang lainnya dari pinggir lalu turun ke bawah. Di bagian tengahnya ada sambungan menggunakan tambahan mirip gunting yang membuka di bagian puncaknya.
13. Banten
Rumah adat Banten
adalah rumah panggung yang beratapkan daun atap dan lantainya dibuat dari
pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik
(gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat
sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang
digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di
daerah yang dihuni oleh orang Kanekes atau disebut juga orang Baduy.
14. Jawa Tengah /
Jateng
Rumah Adat Jawa Tengah
Dalam segi arsitektur
Provinsi Jawa Tengah memiliki 2 kelompok bangunan yaitu antara yang tradisional
dan modern. Arsitektur tradisonal terwujud dalam seni bangunan Jawa asli yang
hingga kini masih tetap hidup dan berkembang. Ilmu yang memperlajari seni
bangunan oleh masyarakat disebut Ilmu Kalang sedang yang mempelajarinya disebut
Wong Kalang. Dalam arsitektur tradisional terdapat 5 macam bangunan pokok
yaitu:
1.
Panggagpe: yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
2.
Kampung: yaitu bangunan dengan atap dua belah sisi, sebuah bubungan di
tengahnya.
3.
Limasan: yaitu bangunan dengan atap empat belah sisi, sebuah bubungan
ditengahnya.
4.
Joglo atau Tikelan: yaitu bangunan dengan saka guru dan atap empat belah
sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
5.
Tajug: yaitu bangunan dengan saka guru atap empat belah sisi, tanpa
bubungan dan meruncing.
Yang dimaksud dengan
arsitektur modern, yaitu seni bangunan yang mempunyai corak campuran antara
seni bangunan asli dengan pengaruh seni bangunan luar atau campuran antara luar
dengan luar atau asli luar. Paduan unsur seni bangunan campuran terlihat pada
konstruksi maupun pada bentuk atapnya.
Dari bagian-bagian
yang mudah ini, misalnya pada atap, orang dapat mengenalnya dengan mudah,
bangunan itu mempunyai unsur seni perpaduan. Jenis bangunan yang termasuk
arsitektur modern ini dapat berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah ibadat,
gedung sekolah, gedung pertemuan, rumah makan dan lain sebagainya.
15. DI Yogyakarta /
Daerah Istimewa Yogyakarta
Rumah Adat di Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
mempunyai beberapa bentuk bangunan yang disesuaikan dengan fungsinya, antara
lain rumah tempat tinggal, rumah tempat ibadah, rumah tempat musyawarah dan
rumah tempat penyimpanan. Seni bangunan tradisional DIY sudah mengalami perkembangan
bentuk. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya kebutuhan hidup yang lebih
luas serta kebutuhan tempat yang luas pula, sejalan dengan perkembangan
kebudayaan.
Rumah yang
difungsikan sebagai tempat tinggal sering disebut dengan Omah. Omah mempunyai
arti penting dalam kehidupan orang Jawa, seperti yang termaktub dalam 3
ungkapan kata yaitu: sandhang, pangan, dan papan (artinya: pakaian, makan dan
tempat tinggal). Dalam kehidupan berkeluarga orang berkewajiban untuk emenuhi
kebutuhan sandhang yang wajar sesuai dengan keduduknnya, dapat memberi pangan
yang layak dan memenuhi syarat kesehatan, serta papan yang merupakan patokan
tentram tidaknya sebuah keluarga.
Jenis bangunan tempat
tinggal dibedakan dikelanl dalam 4 macam bentuk yang dibedakan berdasarkan
bentuk atapnya, yaitu penggangpe yang mempunyai atap satu sisi: kampong, yang
mempunyai atap dua sisi, Limasan, yang mempunyai atap empat sisi, dan joglo,
bangunan yang mempunyai atap empat sisi seperti limasan hanya bubungannya yang
lebih tinggi. Bentuk rumah tersebut membedakan status soial dalam masyarakat,
misalnya rumah limas an dan joglo kebanyakan dimiliki oleh golongan lapisan
atas atau priayi serta keturunan bangsawan. Sedangkan rumah kampong merupakan
bangunan tempat tinggal yang banyak dimiliki oleh golongan rakyat biasa atau
wong cilik.
Bangunan tradisonal
Jawa kebanyakan menggunakan bahan baku bambu dan kayu. Untuk semakin
memperindah pada bangunan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan. Ragam hias
yang berkembang di daerah ini kebanyakan bercorak stilisasi dai flora, fauna,
alam, agama dan keprcayaan, serta anyam-anyaman. Bentuk stilisasi disukai
sesuai dengan kiblat masyarakat Jawa yang mendambakan ketentraman dan kedamaian
yang abadi, yang hanya ada di surga.
16. Jawa Timur /
Jatim
Rumah Adat Jawa Timur
Rumah adat Jawa Timur
umumnya mengambil bentuk Joglo. Ada juga yang berbentuk limasan (dara gepak)
dan bentuk srontongan (empyak setangkep). Khusus untuk rumah berbentuk joglo,
kota-kota dibagian barat Jawa Timur memiliki kemiripan dengan kota-kota di Jawa
Tengah terutama Surakarta dan Yogyakarta yang disebut sebagai kota pusat
peradaban Jawa.
Arsitektur Joglo
terbilang unik, dengan ciri khas berupa perpaduan dua bidang atap segitiga
dengan dua buah bidang atap trapesium. Masing-masing memiliki sudut kemiringan
yang berbeda dan tidak sama besar. Atap Joglo selalu terletak di tengah-tengah
dan lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Dari bentuk atap yang unik
inilah bangunannya kemudian dikenal dengan nama rumah Joglo.
17. Kalimantan Barat
/ Kalbar
Rumah Adat Kalimantan Barat
Rumah adat di
Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah di sebut rumah Betang, rumah
tersebut biasanya digunakan atau dihuni oleh masyarakat Dayak.
Rumah betang
mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk Panggung, memanjang. pada suku Dayak
tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan
matahari terbit dan sebelah hilirnya kearah matahari terbenam, sebagai simbol
kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah
di matahari padam.
Di Kalimantan Barat
mulai dari Kota Pontianak dapat kita jumpai rumah adat Dayak. Salah satunya
berada di jalan Letjen Sutoyo. Walaupun hanya sebuah Imitasi, tetapi rumah
Betang ini, cukup aktif dalam menampung aktivitas kaum muda dan sanggar seni
Dayak.
Kemudian jika kita ke
arah kabupaten Landak, maka kita akan menjumpai sebuah rumah Betang Dayak di
Kampung Sahapm Kec. Pahauman. Kemudian jika kita ke kabupaten Sanggau, maka
kita dapat melihat Rumah Betang di kampung Kopar Kecamatan Parindu.
Selanjutnya di
kabupaten Sekadau, kita dapat menjumpai rumah betang di Kampung Sungai Antu
Hulu, Kecamatan Belitang Hulu. Kemudian di kabupaten Sintang kita dapat melihat
rumah Betang di Desa Ensaid panjang, Kecamatan Kelam, dan di Kapuas Hulu, kita
juga bisa melihat banyak rumah-rumah betang Dayak yang masih lestari
18. Kalimantan Tengah
/ Kalteng
Rumah Adat Kalimantan Tengah
Rumah Betang adalah
rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan,
termasuk Kalimantan Tengah, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya
menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi
utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari
seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari
pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak
biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling
menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar
rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai
panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun
dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah.
Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya
banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di
Kalimantan.
Beberapa unit
pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari
besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga
(keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang
besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki
rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas
perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan
tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan
untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari
struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan
mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah
Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara
sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat.
Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka
maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang.
Nilai utama yang
menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme)
di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang
mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang
menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama
ataupun latar belakang sosial.
19. Kalimantan
Selatan / Kalsel
Rumah Adat Kalimantan Selatan
Rumah adat di
Kalimantan Selatan ada beberapa macam, diantaranya ada rumah suku Banjar yang
disebut Rumah Bubungan Tinggi dan rumah dari suku Dayak Bukit yang dikenal
dengan sebutan Balai.
Rumah Banjar: adalah rumah tradisional suku Banjar.
Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain memiliki perlambang, memiliki
penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisonal
Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri
mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota
Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung
Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya.
Umumnya rumah tradisional
Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang
menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah
Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada
pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling
bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk
bangunan keraton (Dalam Sultan).
Jadi nilainya sama
dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang
penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan
kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja
(Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari
bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status
ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola
linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang
dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun
rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan
kering.
Rumah Balai: Balai merupakan rumah adat untuk
melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat"
karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan
sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian
mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan
umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang
berbentuk panjang (Rumah Panjang).
20. Kalimantan Timur
/ Kaltim
Rumah Adat Kalimantan Timur
Rumah lamin, rumah
adat suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, berbentuk panggung setinggi 3 meter
dari tanah yang dihuni oleh 25-30 kepala keluarga. Ujung atap rumah diberi
hiasan kepala naga, simbol keagungan, budi luhur dan kepahlawanan. Halaman
rumah diisi oleh patung-patung blontang yang menggambarkan dewa-dewa sebagai
penjaga rumah atau kampung.
Rumah lamin merupakan
rumah tradisional berbagai suku bangsa yang berddiam di Kalimantan Timur,
misalnya suku bangsa Dayak Tunjung, Bahau, Benuak dan lain-lain. Di bagian
daerah yang lain juga terdapat rumah-rumah tradisional dengan bentuk yang
hampir sama, misalnya rumah betang yang merupakan rumah suku bangsa Dayak Ngaju
dan Ot Danum di Kalimantan Tengah.
Lamin merupakan rumah
panjang berbentuk panggung yang biasanya didirikan di tepi-tepi sungai. Tinggi
rumah tersebut sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah dengan panjang sekitar
25-50 meter serta lebar 8-10 meter.
21. Bali
Rumah Adat Bali
Rumah Bali yang
sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak
ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi
masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya
hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk
itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang
biasa disebut Tri Hita Karana.
Pawongan merupakan
para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara
penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan
atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran,
peralatan serta pemberian warna.
Ragam hias tersebut
mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan
penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga
berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
22. Nusa Tenggara
Barat
Rumah Adat Nusa Tenggara Barat
Orang Lombok mengenal
beberapa jenis bangunan tradisional untuk tempat tinggal, seperti bale jajar,
bale-bale, bale kodong, dan bale gunung rata. Dari sekian jenis bangunan tempat
tersebut bale jajar-lah yang paling banyak dipergunakan, baik di kota maupun
pedesaan.
Bale jajar biasanya
bertiang delapan atau dua belas dengan bubungan sepanjang dua meter pada bagian
atas yang disebut semeko (Bantek), bungsu (Kuranji). Sedangkan dindingnya
terbuat dari anyaman bambu yang di Desa bantek disebut dinding.
Sedangkan orang
Sumbawa dan Bima kebanyakan bangunan tempat tinggalnya berbentuk rumah panggung
yang disebut uma panggu. Sebuah rumah panggung dapat bertiang enam, sembilan
maupun dua belas dengan tinggi kolong 1,5 meter dari tanah.
Rumah orang Bima dan
Sumbawa terdiri atas beberapa bilik, yaitu bagian depan yang digunakan tempat
menerima tamu. Jendela terdapat di bagian kiri dan kanan. Tempat masak dibuat
dari tanah liat. Tanah tempat tungku disebut sarah.
23. Nusa Tenggara
Timur
Rumah Adat Nusa Tenggara Timur
Dalam seni bangunan
yang mempunyai fungsi religius adalah rumah adat yang umumnya berupa rumah
panggung dan berbentuk agak segi empat atau segi empat panjang, kecuali rumah
asli Timor yang mempunyai bentuk bulat telur tanpa tiang. Di daerah ini
bangunan dibedakan dalam 3 bentuk yang didasarkan pada model atapnya, yakni
bentuk atap berjoglo yang merupakan rumah adat suku bangsa Sumba, bentuk atap
atap kerucut bulat, merupakan rumah adat suku bangsa Timor dan bentuk atap
seperti perahu terbalik, merupakan rumah adapt suku bangsa Rote. Dari bentuk
atap yang berbeda, tetapi dalam rumah ini tetap terdapat suatu tempat suci
untuk arwah nenek moyang yang selalu diberi sesaji pada sat-saat tertentu.
Masyarakat suku
bangsa Sabu yang merupakan pelaut ulung membangu rumahnya menyerupai perahu
yang erat hubungannya dengan kebudayaan serta kehidupan sehari-harinya.
Misalnya atapnya berbentuk perahu terbalik menandakan, masyarakat daerah ini
mengenal perahu dan lau sebagai alamnya. Hampir seluruh bagian rumah diberi
nama bagian-bagian
perahu seperti haluan, anjungan (duru), dan burian (wui). Duru merupakan bagian
yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki, sedangkan Wui bagian yang diperuntukkan
bagi kaum perempuan.
Di perkampungan suku
bangsa Sabu, berdasarkan bentuk rumah adatnya dibedakan menjadi 2 yaitu antara
‘amu kelaga’ atau rumah adat yang berpanggung dan ‘ammu laburai’, rumah yang
berdinding tanah.
Ammu kelaga merupakan
bentuk rumah Sabu asli yang mempunyai lantai panggung difungsikan sebagai
balai-balai dan disebut sebagai ‘kelaga’. Bangunan ini mempunyai bentuk 4
persegi panjang dengan atap lancip mirip perahu terbalik. Tiangnya berbentuk
bulat terbuat dari kayu pohon lontar, enau, kayu hitam atau kayu besi. Lantai
panggungnya
bertingkat 3 , yakni kelaga rai, atau panggung tanah, kelaga ae atau panggung
besar, kelega dammu atau panggung loteng yang mencerminkan kepercayaan orang
Sabu adanya tingkatan dunia, yakni dunia bawah atau dunia arwah, dunian tengah
atau dunia manusia dan dunia atas atau dunia para dewa.
24. Sulawesi Barat /
Sulbar
Rumah Adat Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat memiliki
beberapa jenis rumah adat, diantaranya adalah rumah adat Mamuju dan rumah adat
Mamasa. Kedua rumah adat tersebut diketahui memiliki arti atau makna tersendiri
dalam setiap bentuk fisik atau ciri khas arsitekturnya.
Rumah Adat Mamuju
adalah kesatuan bangunan yang merupakan kesatuan nilai terpisahkan dengan
bangunan lain. Bangunan-bangunan ini terdiri atas: 1 bangunan rumah utama
(Salassa), 1 bangunan barada raja, 1 bangunan rumah pengawai, 1 bangunan pandai
besi dan emas, 1 lumbung pangan, 1 bangunan kandang kuda dan rusa serta 2
tempat duduk penjaga. Bangunan ini berada di tengah kota Mamuju, ibukota
Sulawesi Barat.
Rumah adat Mamasa
terdiri dari 4 tingkatan berdasarkan strata dalam masyarakat yang berbeda
corak, ukuran dan bentuknya. Banua Sura untuk kalangan bangsawan (berukiran),
Banua Bolong untuk kalangan hartawan dan pemberani (bercorak hitam), banua Rapa
untuk kalangan masyarakat biasa (tanpa cat dan ukiran) dan Banua
Longkarrin/Lettong untuk strata paling bawah. Gambaran rumah tersebut terdapat
di Tondok Sirenden Kecamatan Tawalian.
25. Sulawesi Utara /
Sulut
Rumah Adat Sulawesi Utara Rumah adat Sulawesi Utara ialah Rumah
Pewaris, Rumah ini mempunyei ruang tamu, ruang keluarga dan kamar-kamar. Di
kanan-kiri rumah terdapat tangga, tangga sebelah kanan untuk memasuki rumah.
sedang untuk keluar rumah menuruni tangga yang sebelah kiri.
26. Sulawesi Tengah /
Sulteng
Rumah Adat Sulawesi Tengah Rumah tinggal penduduk Sulawesi Tengah
disebut 'tambi', yang merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat.
Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangawan dengan rakyat
biasa terletak pada bubungan rumah para bangsawan dipasang simbol kepala
kerbau, sedangkan rumah rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut
Rumah tambi merupakan
rumah di atas tiang yang terbuat dari kayu bonati. Bentuk rumah ini segi empat
dan bentuk atapnya piramida yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya
tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya.
Pada
bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk ragam hias yang
menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias
dengan motif fauna terdiri dari 'pebaula' (berbentuk kepala dan tanduk kerbau)
dan 'bati' (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir
seperti benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi.
Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik
rumah.
Sedangkan ragam hias
dengan motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari
kulit kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga
terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni rumah
terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering
dibuat sebagai ragam hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya
berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru atau hijau.
27. Sulawesi Selatan
/ Sulsel
Rumah Adat Sulawesi Selatan
Rumah adat yang
terdapat di Sulawesi Selatan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah
Tongkonan (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone) dan Balla Lompoa (Makassar
Gowa).
Tongkonan: Konon kata tongkonan berasal dari tongkon,
yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan
adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini
tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga
atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang
demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat
budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan
kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.
Tongkonan mempunyai
fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal
beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio'aluk, yaitu
tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Ada juga tongkonan
pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi
sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan
dari tongkonan pesio'aluk. Sementara itu, batu a'riri berfungsi sebagai
tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina
persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan.
Bola Soba: Bola Soba atau Soraja (Rumah Raja
Bugis) adalah rumah tinggal Panglima Perang Kerajaan Bone di masa pemerintahan
Raja Bone XXXII tahun 1895-1905, yaitu "Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi
Petta Ponggawae" salah seorang putra Raja Bone XXXI (Lapawawoi Karaeng
Sigeri).
Namun setelah
kerajaan Bone di bawah kekuasaan Belanda, rumah ini dijadikan sebagai
penginapan para tetamu dari kalangan penguasa ketika itu, sehingga seterusnya
menjadi lazim dengan sebutan “Bola Soba”. Lokasi Bola Soba terletak di pusat
kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Keberadaan rumah
panggung ini juga menunjukkan, di masa lalu masyarakat Bone telah menguasai
pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang cukup tinggi.
Balla Lompoa: Balla Lompoa adalah salah satu
sisa-sisa dari Istana Kerajaan Gowa yang sekarang berfungsi sebagai museum. Di
dalamnya terdapat berbagai harta pusaka peninggalan Kerajaan Gowa pada zaman
keemasannya.
Balla Lompoa terletak
di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15 kilometer sebelah selatan
pusat Kota Makassar. Bangunan ini berbentuk rumah panggung dengan warna coklat
tua dan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi.
Balla Lompoa adalah
istana asli Kerajaan Gowa. Balla Lompoa dalam bahasa Makassar rumah besar atau
rumah kebesaran. Fungsi Balla Lompoa adalah museum yang menyimpan simbol-simbol
kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran,
serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontara
28. Sulawesi Tenggara
/ Sultra
Rumah Adat Sulawesi Tenggara
Seni bangunan
tradisional yang berkembang di daerah Sulawesi tenggara pada umumnya adalah
segi empat memanjang dan berbentuk panggung (pile dwelling) yang agak tertutup.
Jumalah anak tangga setiap rumah memiliki perbedaan tergantung tingkat
kedudukan pemiliknya.
Pembagian ruangan
biasanya terdiri atas ruangan untuk menerima tamu pada bagian muka, ruang
tempat menerima tamu bagian dalam, ruang pertemuan adat, kamar tidur dan
dapur. Pada bagian kolong bangunan rumah biasanya difungsikan oleh
masyarakat sebagai kandang ternak ayam atau babi. Rumah adat tradisional
biasanya terbuat dari bahan balok-balok kayu sebagai tiang dan badan rumah
menggunakan papan. Sedangkan bagian atap biasanya menggunakan daun rumbai,
alang-alang dan nipah.
29. Gorontalo
Tempat
tinggal orang Gorontalo disebut laihe atau potiwoluya, yakni rumah panggung
berbentuk bujur sangkar atau persegi empat yang didirikan di atas tiang dengan
ketinggian antara 1 dan 4 m. Atapnya berbentuk empat persegipanjang: dilihat
dari depan atap (watopo) berbentuk segitiga dan dari samping berbentuk
jajarangenjang.
Bahan atap pada umumnya daun rumbia atau daun kayu. Dinding rumah berbahan bambu yang dibelah dan dianyam. Setiap kamar berjendela. Rumah terdiri atas kamar tidur, serambi, ruang dapur, dan ruang tamu. Di atas pintu terdapat ukiran yang memiliki makna tertentu.
Bahan atap pada umumnya daun rumbia atau daun kayu. Dinding rumah berbahan bambu yang dibelah dan dianyam. Setiap kamar berjendela. Rumah terdiri atas kamar tidur, serambi, ruang dapur, dan ruang tamu. Di atas pintu terdapat ukiran yang memiliki makna tertentu.
30. Maluku
Rumah Adat Maluku
Baileo merupakan
bentuk bangunan tradisional Maluku yang diakui oleh seluruh warga masyarakat
Maluku, karena Baileo merupakan satu-satunya bangunan warisan nenek moyang suku
bangsa Maluku yang menggambarkan kebudayaan siwa-lima.
Baileo adalah sebuah
rumah panggung. Beratap kukuh dan besar, menutupi sebagian badan rumah.
Seolah-olah berkesan member perlindungan pada rumah dan segala isinya. Atap
Baileo terbuat dari rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari tangkai rumbia
yang disebut gaba-gaba.
Aslinya Baileo ini
tidak berdinding. Hal ini mengandung maksud agar roh nenek moyang mereka bisa
dapat bebas keluar masuk bangunan tersebut. Letak lantai yang umumnya dibuat
tinggi dimaksudkan agar kedudukan tempat bersemayam roh-roh nenek moyang lebih
tinggi dari tempat berdirinya rakyat desa yang bersangkutan.
Jumlah tiang
penyangga bangunan yang ada melambangkan jumlah klen yang terdapat di desa
tempat Baileo tersebut berada. Baileo juga dilengkapi dengan Pamali dan Bilik
Pamali tempat persembahan dan tempat penyimpanan benda-benda yang dianggap
suci, khususnya pada saat upacara.
Fungsi Baileo adalah
sebagai tempat bermusyawarah dan bertemunya rakyat dengan dewan rakyat atau
dewan negeri. Baileo juga merupakan sebuah pusat kegiatan religi masyarakat,
seperti pada saat dilaksanakan upacara adat Saniri Negeri dan berbagai upacara
yang melibatkan warga desa lainnya.
31. Maluku Utara
Rumah Adat Maluku Utara Rumah adat Maluku, termasuk Maluku
Utara dinamakan Bailo, dipakai untuk pertemuan, musyawarah dan upacara yang di
sebut seniri negeri. Rumah tersebut merupakan panggung. Atapnya besar dan
tinggi terbuat dari daun rumbia, sedang dindingnya dari tangkai rumbia, yang di
sebut gaba-gaba
32. Papua Barat
Rumah
kariwari di Anjungan Papua terdiri atas dua lantai dan seluruhnya digunakan
sebagai tempat pameran dan peragaan aspek budaya Papua, antara lain foto-foto
berukuran besar, berbagai bentuk patung Asmat, panah beracun, perahu semang,
kerang sebagai mata uang, pakaian perang dan pakaian upacara kepala suku,
koteka, serta patung yang memeragakan upacara adat pembuatan tato di punggung
seorang anak laki-laki yang menginjak dewasa.
Pameran
dilengkapi dengan awetan berbagai satwa, misalnya kus-kus, kanguru, berbagai
jenis buaya, burung dara bermahkota, ular berkaki empat atau kadal lidah biru,
dan burung cenderawasih.
Seluruh
ruang kariwari diberi ragam hias berupa lukisan, ukiran, serta patung.
Benda-benda seperti tengkorak dan rahang babi, kanguru, punggung penyu, taring
babi, busur dan anak panah, gelang-gelang rotan, dan tor (kayu besar berukir
pemukul lesung pada waktu menari) diletakkan dengan cara digantung menghiasi
ruang pameran. Patung-patung melambangkan nenek moyang dan sekaligus sebagai
alat untuk mendatangkan roh nenek moyang pada waktu upacara pemujaan. Adapun
ukiran serta lukisan selalu berhubungan dengan kepercayaan, cerita, dan mitos
tentang asal mula penduduk Papua.
Di
depan kariwari terdapat sebidang para-para dari kayu bulat, digunakan untuk
rapat atau pertemuan dan pesta adat, yang di anjungan ini digunakan sebagai
panggung pementasan seni tari dan musik serta duakali dalam seminggu digunakan
latihan sanggar tari yang terbuka untuk umum. Di sini pula terdapat seniman
Asmat memeragakan pembuatan patung mbis. Pengunjung dapat belajar membuat
ukiran Asmat, sekaligus menimba pengalaman yang amat langka. Siapa tahu
hasilnya bagus sehingga bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh.
Bangunan
lain adalah sili, yakni pemukiman suku Dani di lembah Baliem, pedalaman Papua;
terdiri atas honay, yakni rumah beratap bulat seperti jamur untuk laki-laki,
ebei honay untuk wanita, dan wanay honay untuk babi. Bangunan ini terdiri atas
dua lantai: di bawah untuk makan, memasak, dan kegiatan sehari-hari, sedang di
atas untuk tidur.
33. Papua
Rumah Adat Papua Rumah adat daerah Papua, suku Dani
adalah Honai, Rumah tersebut terdiri dari dua lantai terdiri dua lantai, lantai
pertama sebagai tempaat tidur dan lantai dua untuk tempat bersantai, dan tempat
makan. Hunai berbentuk jamur dengan ketinggian sekitar 4 meter.
Rumah
kariwari adalah rumah pemujaan suku Tobati-Enggros yang menghuni tepian Danau
Sentani di Kabupaten Jayapura, berbentuk limas segi delapan dengan atap
kerucut. Meskipun atap bangunan tidak menggunakan daun sagu seperti di Papua,
namun tata bangun secara keseluruhan sesuai dengan kondisi aslinya, baik bentuk
maupun lingkungan alamnya. Sebuah danau buatan dengan patung ikan hiu gergaji
yang buas serta sebuah perahu Asmat yang panjang dan sempit yang digerakkan
oleh delapan orang pendayung merupakan sentuhan suasana aslinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar