Contoh kasus
pelanggaran HAM berat di Indonesi. Pelanggaran Ham berat pernah terjadi di Indonesia. berikut contoh pelanggaran ham berat di Indonesia :
1. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah aktifis
HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8
Desember 1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia
seperti kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak lagi.
Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia
ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi
mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di
pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian orang
percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum di makanan atau
minumannya saat di dalam pesawat.
2. Pembunuhan Aktivis Buruh
Wanita, Marsinah
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT.
Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah
muncul ketika Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS
menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3
dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika
Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada
tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia.
3. Penculikan Aktivis 1997/1998
Salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia yaitu kasus
penculikan aktivis 1997/1998. Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara
paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23
orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih
hilang).
4. Penembakan Mahasiswa Trisakti
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa
meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Kasus penembakan mahasiswa Trisakti
merupakan salah satu kasus penembakan kepada para mahasiswa Trisakti yang
sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer.
5. Pembantaian Santa Cruz/Insiden
Dili
Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di
Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh militer atau anggota TNI
dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor-Timur pada
tanggal 12 November 1991.
6. Peristiwa Tanjung Priok
Kasus ini murni pelanggaran HAM. Bermula ketika warga
sekitar Tanjung Priok, Jakarta Utara melakukan demonstrasi beserta kerusuhan
yang mengakibatkan bentrok antara warga dengan kepolisian dan anggota TNI yang
mengakibatkan sebagian warga tewas dan luka-luka.
7. Pembantaiaan Rawagede
Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan
beserta pembunuhan terhadap penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa
Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh tentara Belanda pada tanggal
9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi Militer Belanda I. Puluhan
warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa alasan
yang jelas.
8. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan
warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa
ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal
dunia akibat kekerasan dan penembakan.
9. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja
wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang
hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal
secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan,
penganiayaan dan pembunuhan.
10. Kasus terbunuhnya wartawan
Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang
wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak
dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
11. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak
memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak
berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat
pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
12. Peristiwa Semanggi (1998)
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes
masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan
tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I
terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan
tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II
terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan
sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka -
luka.
13. Video penganiayaan yang
dilakukan Densus 88 Anti Teror pada 22
Januari 2007
Video penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teroryang
diduga terjadi pada 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah itu kini beredar luas di dunia maya lewat YouTube. Komnas HAM meyakini
penganiayaan terhadap terduga teroris itu bukanlah rekayasa.
Komnas HAM menyimpulkan, Densus 88 telah melakukan
pelanggaran serius atas kekerasan yang terjadi. Pasalnya, dari 29 Daftar
Pencarian Orang (DPO) dugaan teroris, sebanyak 12 orang tewas akibat kekerasan
tersebut.
Komnas HAM pun mengeluarkan rekomendasi terkait ini,
diantaranya mendesak Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo
mempertanggungjawabkan kasus ini dan segera mengusut tuntas pelanggaran HAM
serius yang diduga dilakukan Densus 88 dan aparat lainnya.
"Mendesak Kapolri melakukan tindakan hukum
seadil-adilnya terhadap para pelaku, baik yang terlibat secara langsung atau
tidak langsung dalam peristiwa penyiksaan yang menyebabkan tewasnya Fachrudin,
salah satu korban dalam video itu, dan beberapa saat setelah dibawa ke Polres
Poso," ujar Ketua Komnas HAM Siti Nurlela di kantor Komnas HAM, Jakarta
hari ini.
"Komnas HAM mendesak Kapolri mengusut tuntas terjadinya
tindakan kekerasan yang berlebihan pada peristiwa 22 Januari 2007 sehingga
menyebabkan 12 korban tewas yang bukan merupakan DPO dan melakukan otopsi ulang
kepada seluruh korban. Kami juga meminta LPSK memberikan perlindungan keamanan
terhadap para saksi dan korban pada peristiwa tersebut," bebernya.
"Mendesak pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan
yang sangat ketat terhadap pola kerja pemberantasan terorisme, khususnya Densus
88," katanya lagi.
14. Peristiwa kekerasan di Timor
Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca
jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan
laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada
dua kepala negara terkait.
15. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah
sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana
telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.
16. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban
yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di
kabupaten Dati II Poso. Kaum terpelajar asal Poso dan Morowali yang berdiam di
Sulawesi Tengah dan Jawa, khususnya yang menjadi anggota Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST), dikejutkan oleh surat pimpinan gereja mereka ke Komisi
I DPR-RI. Melalui surat bernomor MS GKST No. 79/X/2003, tertanggal 28 Oktober
2003, Pjs. MS GKST, pimpinan gereja
terbesar di Sulawesi Tengah itu mengusulkan penetapan darurat sipil di wilayah Kabupaten Poso dan
Kabupaten Morowali. Surat itu ditandatangani oleh Ketua I Majelis Sinode GKST,
Pendeta Arnold R. Tobondo dan Sekretaris
I Majelis Sinode, Lies Sigilipu-Saino.
Hasil evaluasi akhir tahun yang dilakukan Yayasan Tanah
Merdeka (YTM) sebuah LSM ternama di Sulwesi Tengah mengungkapkan jumlah korban
tewas dan cedera akibat rentetan aksi kekerasan di daerah bekas konflik Poso
sepanjang tahun 2005 meningkat tajam dibanding dua tahun sebelumnya. Sumber :
Harian sore Mercusuar Palu
Dari sedikitnya 27 kasus tindak kekerasan yang terjadi
sepanjang 2005 yaitu berupa penembakan 10 kasus, pembunuhan 4 kasus dan
pengeboman 12 kasus, mengakibatkan korban meninggal dunia mencapai 31 orang dan
luka-luka sebanyak 108 orang.
Arianto Sangaji, direktur YTM, kepada wartawan, Rabu (28/12),
mengatakan korban manusia terbanyak terjadi ketika dua bom berkekuatan dashyat
mengguncang Tentena (kota kecil di tepian Danau Poso) pada 28 Mei 2005 yang
mengakibatkan 23 orang tewas dan 97 lainnya cedera.
Disusul pembunuhan dengan cara mutilasi di kota Poso 29
Oktober lalu yang menewaskan tiga siswi SMA setempat dan mencederai seorang
lainnya.
Ia menjelaskan, jumlah kasus tindakan kekerasan di wilayah
Poso tahun 2005 itu beserta akibat yang ditimbulkannya jauh meningkat dibanding
keadaan dua tahun sebelumnya.
Pada tahun 2003 misalnya, total tindakan kekerasan yang
terjadi di sana hanya 23 kasus dengan mengakibatkan 11 orang tewas dan 16
luka-luka, serta tahun 2004 sebanyak 22 kasus dengan 16 orang meninggal dunia
dan 20 cedera.
17. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian
etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.
18. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita
Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak
dibayar.
19. Peristiwa Talangsari (1989)
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di
antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa
Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk
Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.Peristiwa
Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari,
Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena
tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas
Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.Nurhidayat,
dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara
Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal
dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta.
Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan
merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa
Talangsari,Lampung .Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan.
Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah
Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way
Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun
kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok.
Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.Tewasnya Kapten Soetiman
membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM
Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada
7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang
mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini
memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan
dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk
Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23
orang.
20. Pembantaian di Indonesia
1965–1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa
pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa
setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari
setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam
peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa
transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan
mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan
kepada Soeharto.Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena
kesalahan dituduhkan kepada PKI. Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik,
sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pembantaian
dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya
mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang
kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuanvigilante (orang
yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat
menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun
pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di
basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur,Bali, dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme,
agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI,
telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam
politis;[1][2] dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967,
Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto
menjadi Presiden Sementara. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi terpilih
menjadi presiden.Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku
sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia
maupun warga internasional.[3][4][5] Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya
telah menarik perhatian para ahli dari berbagai prespektif ideologis.
Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam
konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem
politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa
kepresidenan Soeharto. DiBarat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan
sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
21. Wasior-Wamena
Pelanggaran HAM di Wasior berawal dari konflik antara
masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Dalam aksi masyarakat pada akhir bulan Maret
2001 tiba-tiba saja “kelompok tidak dikenal bersenjata” menembak mati 3 orang
karyawan PT. DMP. Pasca penembakan, Polda Papua dengan dukungan Kodam XVII
Trikora melakukan“Operasi Tuntas Matoa.”
Operasi ini menyebabkan korban masyarakat sipil. Berdasar
laporan KOMNAS HAM telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk: 1.
Pembunuhan (4 kasus); 2. Penyiksaan (39 kasus) termasuk yang menimbulkan
kematian (dead in custody); 3. Pemerkosaan (1 kasus); dan 5. Penghilangan
secara paksa (5 kasus); 6. Berdasarkan investigasi PBHI, terjadi pengungsian
secara paksa, yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan
pengrusakan harta milik.Namun Kejaksaaan Agung mengembalikan berkas yang
dihimpun KOMNAS HAM dengan alasan belum melengkapi dan memenuhi beberapa syarat
formil dan materiil. Pada 29 Desember 2004, berkas tersebut dikembalikan lagi
oleh Komnas HAM tanpa memperdulikan alasan dari Kejagung dengan alasan wewenang
Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
22. Pelanggaran HAM berat di Provinsi
Maluku
Maluku berdarah atau Ambon berdarah, adalah sebutan untuk
pelanggaran HAM berat yang terjadi di salah satu propinsi di wilayah timur
Indonesia. Dimana pada saat itu terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh suku
agama satu kepada suku dan agama lainnya tepat sebelum perayaan Hari Raya Idul
Fitri 1419H. Serangan itu telah banyak mengakibatkan banyak jatuh korban dan
hak asasi mereka ternodai. Tercatat lebih kurang sekitar 8 ribu orang meninggal
dunia termasuk penduduk tak berdosa menjadi korbannya, hampir 4 ribu orang
mengalami luka berat, ribuan pemukiman warga, kantor, pasar, sekolah, dan
fasilitas umum lainnya dihancurkan. Akibat kejadian tersebut sekitar 692 ribu
jiwa mengungsi ke tempat yang aman untuk menghindari serangan mendadak dari
pertikaian itu.
23. Pelanggaran HAM berat antar
suku di Sambas, Kalimantan Barat
Tampaknya agama dan suku sering menjadi pemicu meletusnya
konflik dan kerusuhan di Indonesia. Tak peduli dengan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika sebagai pemersatu kita orang Indonesia. Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan pun tak melekat dalam hati. Dan inilah yang terjadi di Sambas,
Kalimantan Barat. Dimana telah terjadi kerusuhan besar antar suku yang
menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa di Sambas (1970-1999). Sekali lagi HAM
telah dinodai.
Kerusuhan Sambas merupakan peristiwa pecahnya pertikaian
antar etnis pribumi dengan pendatang, yakni suku Dayak dengan Madura yang
mencapai klimaks pada tahun 1999. Akibat pertikaian tersebut, data menyebutkan
terdapat 489 orang tewas, 202 orang mengalami luka berat dan ringan, 3.833
pemukiman warga diobrak-abrik dan dimusnahkan, 21 kendaraan dirusak, 10 rumah
ibadah dan sekolah dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi ke daerah yang
lebih aman.
24. Pelanggaran HAM berat pada
peristiwa G30S
Seperti yang banyak diceritakan pada pelajaran sejarah,
peritiwa G30S PKI adalah peristiwa dimana beberapa jenderal dan perwira TNI
menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan secara sadis pada malam 30 september
sampai 1 oktober tahun 1965. Dalam catatan sejarah, pelaku dari peritiwa G 30 S
PKI adalah para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Ketika itu para
jenderal dan perwira TNI dibunuh dan disiksa secara sadis, kecuali AH. Nasution
saja yang berhasil meloloskan diri, tetapi naas yang menjadi korban adalah
seorang anak yang tak lain adalah putrinya sendiri. Nama anak AH Nasution yang
tertembak saat peristiwa G30S PKI adalah Ade Irma Suryani Nasution termasuk
sang ajudan bernama Lettu Pierre Tendean.
25. Pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh Oknum TNI
Contoh pelanggaran Ham berat di Indonesia yang pertama
dilakukan oleh oknum TNI. Sebagaimana yang kita ketahui TNI atau Tentara
Republik Indonesia sejatinya bertugas untuk menjaga keutuhan negara dari
serangan pihak luar yang mencoba merusak dan menghancurkan keutuhan negara,
tetapi pada masa kekuasaan Presiden Soeharto,TNI beralih fungsi sebagai alat
untuk memperkuat kekuasaan. Banyak kasus tindakan kriminal, penculikan dan
pembunuhan kepada orang-orang yang menentang pemerintah.
26. Tragedi di Jambo Keupok pada
17 Mei 2003
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) mendesak Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro justisia
terhadap peristiwa tragedi Jambo Keupok, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan
dan mendorong Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah
peristiwa pelanggaran HAM berat yang wilayah Aceh Selatan. Sebanyak 16 orang
penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan, penembakan, pembunuhan di luar
proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5 orang lain turut
mengalami kekerasan oleh anggota TNI.Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya
ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada anggota TNI bahwa pada
2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan
dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung.
Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak
kekerasan terhadap penduduk sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang
secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda. Puncaknya pada 17 Mei
2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan ratusan pasukan
berseragam militer.Berbekal topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras
panjang dan beberapa pucuk senapan mesin, para tentara mendatangi desa Jambo
Keupok dan memaksa seluruh pemilik rumah keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda,
dan anak-anak semua disuruh keluar dan dikumpulkan di depan rumah seorang
warga.
TNI kemudian menginterogasi warga satu per satu, menanyakan
keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu,
pelaku langsung memukul dan menendang warga. Peristiwa tersebut mengakibatkan 4
warga sipil mati dengan cara disiksa dan ditembak, 12 warga sipil mati dengan
cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup."Sebanyak 3 rumah warga
dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4
orang perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata," kata Haris Azhar,
Koordinator Badan Pekerja Kontras lewat rilis yang dikirim ke merdeka.com,
Jumat (17/5).
Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44
hari ke sebuah Masjid karena takut tentara akan kembali datang ke desa Jambo
Keupok. Peristiwa itu sudah 10 tahun berlalu, namun warga Jambo Kepuok tidak
memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka hingga saat ini masih mengalami
trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena
tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses hukum
terhadap para pelaku belum juga dilakukan. Oleh sebab itu Kontras mendesak
kepada komnas HAM segera menyelidiki peristiwa ini termasuk memeriksa para
pelaku yang terlibat secara akuntabel dan transparan. Kontras juga mendorong
Pemerintah Aceh dan DPRA segera membahas dan membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan amanat dari MoU Helsinki tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar